Kamis, 12 April 2012

INDAHNYA RAGAM BUDAYA INDONESIA II

Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.



















antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Penggunaan bahasa dibedakan menjadi beberapa macam berdasarkan status sosial antara lain :

1. Ngoko, Yakni bahasa jawa yang berada pada tingkatan paling bawah dan digunakan oleh mereka yang memiliki derajat sama dalam tatanan sosial.
2. Ngoko andhap, ialah bahasa jawa ngoko yang bercampur dengan bahasa krama.
3. Madya, merupakan bahasa jawa pada tingkat tengah. Artinya, lebih tinggi atau lebih halus dari bahasa ngoko/ngoko andhap.
4. Krama, Bahasa yang dipergunakan untuk menghormati seseorang dan digunakan dalam berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.
5. Krama Inggil, Tingkatan bahasa yang lebih tinggi dari bahasa Jawa Krama. Kata-kata bahasa Jawa Krama Inggil tidak terlalu banyak, hanya menjelaskan mengenai nama anggota badan, tempat, tindakan, kondisi, dan nama-nama barang yang sering digunakan kepada orang yang dihormati.

Lompat Batu

Melompat batu ‘fahombo batu‘ telah menjadi salah satu cirikhas masyarakat Nias. Banyak orang luar yang mengingat atau membayangkan Nias dengan lompat batu, sehingga ada juga yang mengira bahwa semua orang Nias mampu melompat batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan ! 40 cm.

Lompat batu merupakan tradisi masyarakat Nias Selatan, khususnya Telukdalam. Tradisi ini tidak biasa dilakukan oleh masyarakat Nias di wilayah lain, dan hanya kaum laki-laki yang melakukannya. Hal ini juga telah menjadi indikasi perbedaan budaya nenek moyang atau lelehur masyarakat Nias. Yang harus diketahui lagi, tidak pernah ada perempuan Nias yang melompat batu.

Pada mulanya melompat batu, tidaklah seperti yang kita saksikan sekarang. Baik fungsi maupun cara penguasaannya. Dahulu melompat merupakan kombinasi olah raga dan permainan rakyat yang gratis, bukan tradisi komersial.

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.


MITOLOGI

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a".

Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

Suku Asmat adalah seniman sejati. Patung kayu hasil kerajinan mereka diakui dunia internasional sebagai hasil karya seni berkelas tinggi. Darah seni ini mengalir dengan tanpa sengaja karena dalam kehiduan sehari-hari mereka menggunakan peralatan yang berhubungan dengan kayu. Suku ini mendiami daerah Teluk Flamingo dan Teluk Cook, di wilayah pantai sebelah barat daya Papua.

Kehidupan modern tidak mencapai wilayah ini kecuali beberapa tahun terakhir. Sebagian besar wilayah ini masih berupa wilayah hutan lebat yang belum dirambah manusia. Meski demikian nasib para seniman sejati tak lepas dari perhatian dunia Internasional. Pada akhir tahun enam puluhan, para pemahat suku Asmat menerima bantuan dari PBB demi upaya mempertahankan kelestarian seni patung mereka. Di kota Agat anda bisa mengunjungi museum yang menampilkan koleksi patung kayu dan hasil kerajinan mereka.

Adapun peralatan yang biasanya digunakan para pemahat Suku Asat terdiri dari kapak batu, gigi binatang dan kulit kerang. Sedangkan untik menghaluskan patahan, mereka menggunakan taring babi, gigi-gigi ikan tertentu dan tiram.

Beberapa Suku Asmat yang mendiami daerah yang jauh dari pesisir, membangun rumah di atas puncak-puncak pohon, sekitar 30 meter di atas permukaan tanah. Bahkan, ada pula yang masih hidup secara nomaden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar